Lili mengungkapkan hal itu setelah mendapat pengaduan dan aspirasi dari kalangan pengusaha garmen di Jawa Barat. "Mendingan buruh masih bisa bersabar dan pembayaran gajinya bisa ditunda. Kalau PLN tidak bisa, main putusin aja," kata Lili lagi mengutip kalangan pengusaha.
Pada kesempatan lain, politisi Golkar ini melemparkan guyonan saat memeriksa kesehatan di Pusat Kesehatan DPR. Saat berpapasan dengan anggota DPR lain, Lili terlibat dialog. "Sakit apa, Pak?" sapanya.
"Ini naik sampai 300," jawab anggota DPR tersebut.
"Apanya yang naik?"
"Ini gula darahnya."
"Gampang obatnya."
"Apa obatnya, Pak?” Rupanya penasaran juga dan serius.
"Banyak main gula-gula saja," guyon Lili. Saat itu pun keduanya tertawa pecah.
Itulah Lili, seperti kebanyakan pejabat lain dari tatar Sunda yang banyak heureuy, ngabodor dan lelucon. Seolah ada anggapan di kalangan urang Sunda, kalau seorang pejabat nggak bisa ngabodor berarti orang tersebut belum siap jadi pejabat.
Artikulasi Lili dalam menyampaikan pendapat dalam berbagai rapat di Kompleks Senayan terkesan lembut. Tak pernah menampakkan emosi kendati permasalahan yang dihadapi sangat serius. Semua masalah ditanggapi dan disikapi secara tenang. Rupanya, pengalaman berpolitik telah menempa anggota DPR dari Dapil II Jawa Barat ini lebih bijaksana.
Saat berbicara tentang kereta api cepat Jakarta-Bandung misalnya, lulusan Kennedy Western University ini tidak menampakkan ekspresi berlebihan kendati ia melihat banyak persoalan yang dilanggar seperti belum terpenuhi sejumlah perizinan krusial.
"Saya minta pemerintah kalau serius ingin membangun kereta yang cepat, nyaman dan aman semua persyaratan dan perizinannya harus dipenuhi dulu," ujar kelahiran Bandung tahun 1941 ini.
Rupanya pengalaman sebagai anggota DPR selama 30 tahun telah menempa Lili sebagai sosok yang peka, bijak dan sensitif menyikapi nasib rakyat dan bangsa. Lili sudah sejak 1987 berkiprah di DPR dan hanya beberapa tahun absen. Hebatnya, Lili kendati sudah usia berkepala tujuh semangat dan kedisiplinannya tak pernah padam.
Saat Tabloid Senayan menyambangi kantornya, pekan lalu misalnya, Lili beberapa kali meminta waktu wawancara diundur beberapa jam karena harus menyelesaikan sejumlah rapat. Lili tak kenal waktu jika tengah mengikuti rapat-rapat komisi, panja, maupun pansus di gedung DPR yang kerap berlangsung hingga larut malam, bahkan hingga dini hari.
”Ini kewajiban, karena dalam rapat-rapat di DPR itulah nasib rakyat serta masa depan bangsa ditentukan,” ujar Lili bersemangat.
Soal kedisiplinan anggota DPR, Lili bisa dengan tepat membandingkan anggota DPR pada masa Orde Baru dengan pascareformasi. Menurut penilaian Lili, sangat jauh berbeda. Kedisplinan tinggi itu bukan hanya milik anggota Golkar tetapi juga anggota DPR dari partai lain.
”Waktu Orde Baru, anggota DPR benar-benar disiplin. Kalau jadwal rapat jam 9, ya jam 9 kita mulai. Setelah itu pintu ditutup dan yang terlambat tidak bisa ikut rapat. Sangat disiplin,” kata Lili.
Sekarang, tidak sedikit anggota DPR yang diundang rapat pukul 9, namun baru datang sejam kemudian. Itupun tidak langsung mengikuti rapat, melainkan hanya mengisi absensi dan kemudian pergi lagi. Itu terjadi di hampir semua jenis rapat, dari rapat komisi hingga rapat paripurna.
“Saya kira jauh sekali kalau membandingkan kedisplinan dan produktifitas. Dan hasilnya ya seperti sekarang ini kualitas dan kuantitas perundang-undangan sangat rendah,” ujarnya.
Menurut Lili, tidak fair juga menyalahkan seluruh permasalahan kepada anggota DPR. Sistem yang dibangun juga berkontribusi pada anjloknya kinerja anggota DPR. Kenyataannya, banyak anggota DPR yang mengemban tugas lebih dari satu.
Artinya, lanjut Lili, seorang anggota DPR tidak hanya menjadi anggota komisi, tapi juga memegang tugas sebagai anggota pansus, panja, BURT, MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan), dan lain-lain. Akibatnya, anggota DPR itu tidak fokus karena harus lompat sana lompat sini untuk memenuhi semua tugasnya. ”Begitulah kenyataannya,” kata suami dari Itje Siti Dewi Kuraesin ini.
Sebelum menjadi anggota DPR, Lili adalah seorang birokrat. Ia pernah menjabat sebagai Kepala Kantor Departemen Perindustrian Kabupaten Bandung. Lalu ia dipercaya menjadi Kepala Bidang Aneka Industri, Kepala Bidang Perencanaan Kanwil Perindustrian Jawa Barat.
Pada saat menjadi pejabat di Kanwil Perindustrian, Lili yang sering terjun langsung ke masyarakat melihat banyak sekali persoalan rakyat yang menurutnya harus dibantu. Terutama yang berkaitan dengan regulasi di bidang industri. Untuk itu Ia merasa perlu memerjuangkan aspirasi masyarakat.
Lili merasa tersentuh karena ia melihat Musrenbang (Musyawarah Rencana Pembangunan) daerah yang belum bisa memenuhi permintaan masyarakat. Dari 100 usulan yang diajukan setiap tahunnya di desa, maksimal hanya 10 yang bisa direalisasi.
Melihat kenyataan itu, Lili berpikir, dengan menjadi anggota DPR, dia bisa mendorong pemerintah daerah untuk membantu rakyat di daerahnya.
Pada 1987, kali pertama Lili Asdjudiredja menduduki jabatan anggota DPR hingga masa bahkti 1992. Setelah itu, ia kembali menjadi anggota DPR periode 1992-1997. Pemilu 1997 Lili Asdjudiredja masih dipercaya menjadi anggota DPR periode 1997-2002. Namun, karena ada peristiwa Mei 1998 yang diakhiri dengan suksesi kepemimpinan nasional, maka jabatan anggota DPR tidak dilanjutkan sampai akhir periode. Selama menjadi anggota DPR, Lili pernah pimpinan komisi V, VI, dan XI.
Tetapi di tahun yang sama Lili menjadi Wakil Ketua Komisi Pengawas Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang kemudian melebur menjadi KPK.
Setelah menjadi anggota DPR, Lili benar-benar menepati janjinya. Dia menggunakan jabatannya semata-mata untuk rakyat. Selain membantu mewujudkan pembangunan infrastruktur, Lili juga menggerakkan ekonomi rakyat. Ia membantu pelaku UKM dengan berbagai cara: melalui undang-undang, membantu mengakses kredit ke bank, dan sebagainya.
”Saya tahu persis bagaimana kesulitan rakyat dalam upaya meningkatkan produktivitas, karena tidak ada modal. Karena itu saya berusaha untuk bisa mensejahterakan rakyat. Melakukan pendidikan perajin sepatu, bordir, dan tekstil. Saya ikut meningkatkan usaha kecil menengah. Salah satunya juga dengan ide Aburizal Bakrie dengan KUR-nya,” urainya panjang lebar.
“Jadi, saya berpolitik bukan untuk menopang bisnis saya atau untuk mencapai jenjang politik yang tinggi, tapi memang untuk membantu rakyat. Itu niat saya terjun ke politik,” kata Lili yang tidak pernah bercita-cita menjadi pejabat eksekutif ini.
Mantan Dekan Fakultas Ekonomi di Universitas Nusantara Bandung ini mengaku pengalamannya yang paling berkesan saat ia menjadi ketua Pansus Bank Bali, 1998. Pansus ini berhasil membongkar kasus Bank Bali sampai menyeret pejabat BI dan BPPN masuk bui.
Sekadar informasi, sepanjang sejarah berdirinya pansus di DPR, Pansus Bank Bali adalah pansus yang berhasil membongkar suatu kasus dan menyelesaikannya. Setelah itu banyak pansus, tapi umumnya hasilnya tidak sesuai harapan.
Hal berkesan kedua, kata Lili, saat ia menjadi pengurus Golkar di era kepemimpinn Akbar Tandjung. Lili ditugaskan menjabat Direktur Eksekutif Pemenangan Pemilu dan berhasil mengantarkan Golkar menjadi peraih suara terbanyak pada Pemilu 2004.
”Pengalaman Pak Akbar berorganisasi bisa membuat Golkar yang (saat itu) terpuruk menjadi hebat,” kata pengagum Akbar Tandjung ini.
Kini, Lili mengaku sudah letih dan akan menjadi periode terakhirnya sebagai anggota DPR. ”Saya ingin bertani saja di Bandung,” kata kakek delapan cucu ini.
Nah, sebagai warga Bandung pituin, Lili juga sangat perhatian dengan kotanya termasuk soal digadang-gadangnya Walikota Bandung Ridwan Kamil alias Kang Emil untuk menjadi orang monor satu di Jakarta. Secara pribadi Lili tidak setuju. "Warga Bandung dan warga Jawa Barat masih membutuhkan Ridwam Kamil," ujar Lili.
"Saya kira untuk menjadi orang hebat nggak harus ke Jakarta. Cukup berkiprah di Bandung dulu saja. Mungkin naik ya jadi Gubernur Jawa Barat," saran anggota Mahkamah Kehormatan Dewan ini.
Bagaimana Kang Emil?
0 comments:
Post a Comment