Kehadiran dan perjalanan pers di Indonesia tak lepas dari nama Tirto Adhi Soerjo, yang juga dikenal Bapak Pers Indonesia. Seperti apa sosoknya? Berikut ulasan biografi singkat Tirto Adhi Soerjo.
Tirto Adhi Soerjo lahir sebagai Raden Mas Djokomono di Blora pada tahun 1880 pada zaman Hindia Belanda. Ia adalah seorang tokoh pers dan tokoh kebangkitan nasional Indonesia, dikenal juga sebagai perintis persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia. Namanya sering disingkat T.A.S.
Dikutip Biografi.co.id dari Tirto.id, situs berita bahasa Indonesia yang mengabadikan nama Tirto Adhi Soerjo. Tirto Adhi Soerjo berasal dari keluarga bangsawan terkemuka. Hal tersebut tampak dari namanya, dalam sistem keluarga raja-raja Jawa, perubahan nama anak menjelang dewasa sudah menjadi kelaziman, entah pemberian ayah atau kakeknya
Gelar raden mas menandakan bahwa Djokomono adalah putra atau cucu bupati dan masih terhitung keturunan raja-raja di Jawa. Kakeknya, R.M.T. Tirtonoto, menjabat Bupati Bojonegoro dan penerima Ridder Nederlandsche Leeuw, bintang tertinggi sipil dari Kerajaan Belanda. Sedangkan dari pihak nenek, ia mewarisi darah Mangkunegara I alias Pangeran Sambernyawa dari Surakarta.
Tirto adalah orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Dia juga berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu.
Akibatnya Tirto ditangkap dan disingkirkan dari Pulau Jawa dan dibuang ke Pulau Bacan, dekat Halmahera (Provinsi Maluku Utara). Setelah selesai masa pembuangannya, Tirto kembali ke Batavia (Jakarta), dan meninggal dunia pada 17 Agustus 1918.
Akibatnya Tirto ditangkap dan disingkirkan dari Pulau Jawa dan dibuang ke Pulau Bacan, dekat Halmahera (Provinsi Maluku Utara). Setelah selesai masa pembuangannya, Tirto kembali ke Batavia (Jakarta), dan meninggal dunia pada 17 Agustus 1918.
Masa Muda Tirto
Tirto hanya beberapa tahun saja tinggal bersama ayah-ibunya di Blora. Masa kecilnya lebih banyak dihabiskan dengan kerabatnya yang lain.
Ia pernah tinggal bersama kakek-neneknya di Bojonegoro; sepupunya, R.M.A. Brotodiningrat (Bupati Madiun) hingga kakaknya, Jaksa Kepala di Rembang, Raden Mas Tirto Adhi Koesoemo.
Setelah menuntaskan pendidikan dasar di Rembang, Djokomono alias Tirto Adhi Soerjo merantau ke Betawi untuk melanjutkan sekolah di Hogere Burger School (HBS). Lulus HBS, ia diterima di sekolah dokter bumiputra, yakni School tot Opleiding van Inlandsche Artshen (STOVIA) di Batavia.
Sebagai putra dari kalangan ningrat, sebenarnya Tirto bisa dengan mudah menatap masa depan yang cerah jika mau menjadi abdi pemerintah. Namun, ungkap Benny G. Setiono di buku Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008), ia menolak masuk pangreh praja (hlm. 341). Tirto kala itu rupanya sedang tertarik mencicipi dunia kedokteran.
Hanya saja, Tirto tak sempat menamatkan sekolah dokternya lantaran jatuh cinta dengan dunia tulis-menulis.
Tirto mulai menulis sejak awal masuk STOVIA dengan mengirimkan tulisan ke berbagai surat kabar terkemuka saat itu, sebut saja Bintang Betawi, Chabar Hindia Olanda, Pewarta Priangan, Bromartani, juga Pembrita Betawi.
Tirto mulai menulis sejak awal masuk STOVIA dengan mengirimkan tulisan ke berbagai surat kabar terkemuka saat itu, sebut saja Bintang Betawi, Chabar Hindia Olanda, Pewarta Priangan, Bromartani, juga Pembrita Betawi.
Tirto sempat menetap di Bandung saat bekerja untuk Pewarta Priangan. Ia kembali ke Batavia setelah surat kabar itu bangkrut, kemudian bergabung dengan Pembrita Betawi sebagai redaktur. Kariernya di koran ini melesat cepat. Pada 1901, ia sudah menjadi redaktur kepala, dan setahun berselang bahkan dipercaya menjabat sebagai pemimpin redaksi.
Semasa di Pembrita Betawi, Tirto belajar dari Karel Wijbrands, jurnalis senior yang juga pemimpin redaksi Niews van den Dag. Pramoedya Ananta Toer dalam Sang Pemula (2003) mengungkapkan hubungan ini amat intensif walaupun hanya berlangsung beberapa bulan. Tirto mengambil banyak pelajaran dan pengetahuan dari Wijbrands.
Tirto mendapat bimbingan bagaimana harus mengelola penerbitan, dan ditunjukkan jalan untuk kelak bisa memiliki terbitan sendiri. Wijbrands menyarankan pula kepada Tirto agar mempelajari hukum untuk mengetahui batas-batas kekuasaan pemerintah kolonial, beserta hak dan kewajibannya.
Wijbrands, papar Pramoedya, juga mengajarkan Tirto tentang harga diri menurut standar Eropa dan teknik menghantam aparat kolonial, bukan pemerintah yang diserang, tapi aparatnya lantaran hasilnya sama saja.
Tirto diminta memperdalam ilmu tata pemerintahan supaya lebih jeli dalam menilai kekuasaan. Dan, juga atas saran Wijbrands, untuk mengenal bangsa Bumiputra yang mayoritas Muslim, Tirto mendalami ajaran Islam berikut hukum-hukumnya.
Berkat segenap saran Wijbrands, Tirto kemudian menerbitkan Soenda Berita pada 1903. Inilah salah satu surat kabar pertama di Indonesia yang diterbitkan, dikelola, dan dimodali sendiri oleh orang Bumiputra, siapa lagi kalau bukan Tirto Adhi Soerjo.
Pejuang di Medan Media
Tirto menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907) dan Putri Hindia (1908).
Tirto juga mendirikan Sarikat Dagang Islam.
Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli.
Tirto juga mendirikan Sarikat Dagang Islam.
Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli.
Surat kabar ini merupakan embrio yang menjadi pertaruhan sekaligus petunjuk pertama ke mana arah ayun kecendekiaan Tirto dalam upaya menyuluh bangsanya secara nasional. Bersama Soenda Berita, Tirto ingin mencapai cita-cita perjuangan demi memajukan bangsanya.
Sebagai strategi untuk menarik minat dan menyadarkan pembaca yang memang ditujukan kepada rakyat kebanyakan, Soenda Berita oleh Tirto Adhi Soerjo disematkan label: “Kepoenjaan kami pribumi".
Sayangnya, Soenda Berita lantas mengalami krisis finansial. Antara 1905-1906, Tirto melakukan perjalanan panjang ke luar Jawa untuk menggalang dana, namun justru berdampak fatal terhadap korannya tersebut. Soenda Berita seperti kehilangan induk dan akhirnya berhenti terbit.
Tirto kemudian meluncurkan Medan Prijaji. Ahmat Adam dalam The Vernacular Press and the Emergence of Modern Indonesian Consciousness 1855-1913 (1995) menyebutkan, Medan Prijaji terbit perdana pada 1 Januari 1907 (hlm. 111). Selain sebagai penggagas, Tirto juga bertindak selaku editor sekaligus administrator mingguan ini.
Penerbitan Medan Prijaji memperoleh bantuan dari bangsawan lokal dan saudagar anak negeri. Pada 10 Desember 1908, NV Javasche Boekhandel en Drukkerij en Handel in Schrijfbohoeften “Medan Prijaji" resmi berbadan hukum. NV (Naamloze Vennootschap atau perseroan terbatas alias PT) ini tidak hanya menerbitkan Medan Prijaji, melainkan juga beberapa media lainnya, termasuk Soeloeh Keadilan.
Kali ini tak main-main. Medan Prijaji dan Soeloeh Keadilan menjadikan Tirto sebagai orang Indonesia pertama yang menyuluh rasa kesadaran berbangsa bumiputra melalui kuasa media. Dalam konteks ini, ia memperkenalkan apa yang sekarang disebut sebagai jurnalisme advokasi. Tak jarang, Tirto membela kaum tertindas lewat surat kabarnya.
Medan Prijaji dan Soeloeh Keadilan ibarat kendaraan perang bagi Tirto untuk bertempur di medan jurnalistik. Bahkan sejak era Pembrita Betawi dan Soenda Berita, cukup banyak pejabat, baik dari kalangan kolonial maupun pribumi, yang dalam istilah Marco muntah darah akibat tulisan-tulisan tajam karyanya.
Andi Suwirta dalam Suara dari Dua Kota: Revolusi Indonesia dalam Pandangan Surat Kabar Merdeka (Jakarta) dan Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta) 1945-1947 (2000) menuliskan, tulisan dan pandangan yang dikemukakan Tirto membeberkan tentang kesewenang-wenangan para pejabat. Sepak-terjang macam ini ternyata berakibat buruk baginya.
Tirto terjerat perkara delik pers dan diajukan ke meja hijau. Pada pengujung 1912, ia diputuskan harus menjalani hukuman pengasingan di Maluku. Sepulang dari pembuangan dan kembali ke Batavia, pengaruhnya sudah melemah, harta dan asetnya ludes disita negara, teman-temannya pun beranjak menjauh.
Depresi akut menjangkiti Tirto di tahun-tahun pamungkasnya. Hingga akhirnya, pada 7 Desember 1918, tepat hari ini 100 tahun lalu, Tirto Adhi Soerjo, sang pemula pers bumiputera yang telah berjuang mati-matian demi menyadarkan bangsanya itu, mengembuskan napas penghabisan. Pramoedya menyematkan gelar Bapak Pers Nasional kepadanya.
Tirto Adhi Soerjo adalah pelopor pers modern yang digerakkan Kaum Bumiputra. Sebagai pengakuan atas peran besarnya, pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional pada 2006.
Nama dan perjuangannya juga memberi inspirasi bagi Sapto saat mendirikan media online yang diberi nama Tirto.id.
Nama dan perjuangannya juga memberi inspirasi bagi Sapto saat mendirikan media online yang diberi nama Tirto.id.
Kisah perjuangan dan kehidupan Tirto diangkat oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Buru dan Sang Pemula.
Pada 1973, Pemerintah Indonesia mengukuhkannya sebagai Bapak Pers Nasional. Pada tanggal 3 November 2006, Tirto mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres RI no 85/TK/2006.***
Baca pula : Biografi Mochtar Lubis, Wartawan Pejuang dan Sastrawan Top Indonesia
Baca pula : Biografi Mochtar Lubis, Wartawan Pejuang dan Sastrawan Top Indonesia
0 comments:
Post a Comment