Profil Pengusaha Haryo Muyono.dkk
Kotoran sapi dapat dijadikan pupuk. Fakta sederhana mampu mengangkat harkat peternak lokal. Contoh kisah kelompok ternak bernama Sedyo Makmur asal Dusun Ngemplak I, Desa Umbulmartani, Kecamatan Ngemplak, Sleman. Mereka yang tidak cuma beternak sapi sekarang dikenal berjualan pupuk organik.
Secara mandiri mereka membangun usaha aneka macam. Semua berkat sosok Pak Haryo Muyono, yang mana menjadi penggagas aneka usaha. Berkat kerja sama pintar mereka tumbuh signifikan. Dari memelihara cuma 13 ekor menjadi 143 ekor dalam kandang komunal seluas 2.600 meter persegi.
Saking banyaknya usaha mereka terbaru untung. Yakni usaha pembuatan pupuk berkilo- kilo. Kalau tidak ia akan membersihkan kotoran yang per- sapinya menghasilkan 25kg sehari. Kalau dulu mereka akan langsung kirim ke petani buat dibikin sendiri, sekarang tidak.
Sejak 2011, usaha mereka termasuk mengolah pupuk, kalau mentah dijadikan siap dipasarkan. Dikomandoi oleh Wiharjo membuat pupuk lewat komposer. Pada area seluas 14x5 meter kotoran sapi diolah menjadi pupuk kemasan. Mereka meyakinkan produk mereka sama kualitasnya dengan hasil pabrikan.
"Setiap kilo kami jual Rp.600," ujar Harno, sebagai penanggung jawab produksi pupuk Kelompok Ternak Sedyo Makmur.
Selain usaha tambahan juga berguna mengurangi limbah. Memang sudah dikenal lama usaha peternakan memang menghasilkan limbah tidak tertangani. Haryo.dkk menjual selisih seratus rupiah dari pupuk milik pemerintah. Alhasil mereka mendapatkan banyak pesanan pupuk sampai kwalahan ketika musim tanam.
Karena banyaknya pesanan, dan lahan pengolahan dan mesin masih terbatas, maka Harno.dkk tak jarang mengirim mentahan karean takut mengecewakan. Pupuk diolah 40 persen dulu lantas dikirim ke petani agar diolah di sawah. Soal pengiriman, petani akan datang sendiri ke pusatnya, belum ada marketing khusus.
Pembuatan pupuk kandang cukup kapur, ketes tebu, serta bahan pengurai. Per- tahun mereka memproduksi selama tiga kali. Mereka fokus berproduksi ketika musim tanam. Kan petani tidak setiap waktu butuh pupuk kandang. Hasil penjualan akan dibagi buat kelompok sebesar 80:2.
"Dalam sebulan kami memproduksi 2,3 ton pupuk organik," jelas Harno. Untuk proses pembuatan meski terlihat mudah tetapi butuh waktu.
Butuh waktu sampai pengurai bereaksi. Prosesnya tergantung cuaca juga loh. Tiga pekan dibutuhkan dalam proses penguraian, jika tidak musim hujan. Kalau musim hujan, ia mengatakan mebutuhkan waktu sampai enam pekan. Kesuksesan ini berkat penyuluhan dan pelatihan Dinas Pertanian setempat pada 2011 silam.
Berawal pelatihan tersebut kelompok peternak ini mantap. Mereka mencoba sendiri memproduksi pupuk organik. Sayangnya pembuatan pupuk terkendala mahalnya peralatan produksi.
Atas saran pihak Dina, Harno bersama kawan- kawan, mengajukan proposal ke pusat dan ternyata mereka kabulkan. Mereka memberikan bantuan alat penggiling, kandang komunal, rumah produksi, serta motor roda tiga. Bantuan diberikan pemerintah senilai Rp.340 juta buat memproduksi pupuk organik.
Pertama pembuatan dia mencampur kotoran dengan pengurai, tetes tebu, kapur. Campuran tersebut maka didiamkan beberapa hari sampai mengurai. Proses penguraian juga harus dibolak- balik. Sekali seminggu kalau musim kering. Dua minggu sekali kalau musim hujan tiba.
"Untuk pembalikan ini dilakukan tiga kali," imbuhnya.
Sudah terurai maka akan digiling kemudian dikemas. Buat lebih bagus dilakukan pengayakan agar tidak ada gumpalan. Namun karena dia belum memiliki mesin pengayak, yah, terpaksa bisa langsung dikemas agar cepat. Walau tekstur bagus dibutuhkan waktu tidak kurang lima jam.
Sebulan mereka mampu mengolah 2,3 ton pupuk. Mereka juga menjual di toko pertanian. Atau petani yang terdekat dapat membeli langsung ke mereka. Total sapi 143 ekor berbagai jenis termasuk limusin, metal, peranakan ongle.
Semuanya merupakan milik dari 38 anggot kelompok tersebut. Dari segitu cuma 60% nya dijadikan pupuk sisanya dijadikan langsung sebagai pupuk kandang. Hasil penjualan dibagi 20% untuk anggota pengembang kelompok tani dan 80% buat pemilik sapi. Hasilnya berhasil menunjang penghasilan masing- masing kepala.
Harno sendiri dibantu Wiharjono, pensiunan guru yang banting stir menjadi peternak sapi. Demi uang pensiun mereka banting tulang bekerja keras. Menurutnya merawat sapi seperti merawat siswa. Kalau mereka lapar ya mereka minta makan, saat kenyang yah kenyang. Kadang mereka suka rewel butuh penanganan khusus sendiri.
Wiharjono sendiri juga membuka usaha penggemukan sapi. Sapi dua tahun dibeli Rp.15 juta, digemukan olehnya sampai 4- 6 bulan. Nilai bertambah sekitar Rp.1 jutaan atau nilai jual sampai Rp.20 jutaan. Lalu dia potong bermodal biaya produksi Rp.400 ribu.
"Ibaratnya saya sekarang digaji oleh sapi," candanya. Selain usaha pembuatan pupuk organik. Termasuk mereka mengerjakan usaha pembuatan pupuk cair dan biogas.
Saking banyaknya usaha mereka terbaru untung. Yakni usaha pembuatan pupuk berkilo- kilo. Kalau tidak ia akan membersihkan kotoran yang per- sapinya menghasilkan 25kg sehari. Kalau dulu mereka akan langsung kirim ke petani buat dibikin sendiri, sekarang tidak.
Sejak 2011, usaha mereka termasuk mengolah pupuk, kalau mentah dijadikan siap dipasarkan. Dikomandoi oleh Wiharjo membuat pupuk lewat komposer. Pada area seluas 14x5 meter kotoran sapi diolah menjadi pupuk kemasan. Mereka meyakinkan produk mereka sama kualitasnya dengan hasil pabrikan.
"Setiap kilo kami jual Rp.600," ujar Harno, sebagai penanggung jawab produksi pupuk Kelompok Ternak Sedyo Makmur.
Selain usaha tambahan juga berguna mengurangi limbah. Memang sudah dikenal lama usaha peternakan memang menghasilkan limbah tidak tertangani. Haryo.dkk menjual selisih seratus rupiah dari pupuk milik pemerintah. Alhasil mereka mendapatkan banyak pesanan pupuk sampai kwalahan ketika musim tanam.
Karena banyaknya pesanan, dan lahan pengolahan dan mesin masih terbatas, maka Harno.dkk tak jarang mengirim mentahan karean takut mengecewakan. Pupuk diolah 40 persen dulu lantas dikirim ke petani agar diolah di sawah. Soal pengiriman, petani akan datang sendiri ke pusatnya, belum ada marketing khusus.
Pembuatan pupuk kandang cukup kapur, ketes tebu, serta bahan pengurai. Per- tahun mereka memproduksi selama tiga kali. Mereka fokus berproduksi ketika musim tanam. Kan petani tidak setiap waktu butuh pupuk kandang. Hasil penjualan akan dibagi buat kelompok sebesar 80:2.
"Dalam sebulan kami memproduksi 2,3 ton pupuk organik," jelas Harno. Untuk proses pembuatan meski terlihat mudah tetapi butuh waktu.
Bisnis bersama
Butuh waktu sampai pengurai bereaksi. Prosesnya tergantung cuaca juga loh. Tiga pekan dibutuhkan dalam proses penguraian, jika tidak musim hujan. Kalau musim hujan, ia mengatakan mebutuhkan waktu sampai enam pekan. Kesuksesan ini berkat penyuluhan dan pelatihan Dinas Pertanian setempat pada 2011 silam.
Berawal pelatihan tersebut kelompok peternak ini mantap. Mereka mencoba sendiri memproduksi pupuk organik. Sayangnya pembuatan pupuk terkendala mahalnya peralatan produksi.
Atas saran pihak Dina, Harno bersama kawan- kawan, mengajukan proposal ke pusat dan ternyata mereka kabulkan. Mereka memberikan bantuan alat penggiling, kandang komunal, rumah produksi, serta motor roda tiga. Bantuan diberikan pemerintah senilai Rp.340 juta buat memproduksi pupuk organik.
Pertama pembuatan dia mencampur kotoran dengan pengurai, tetes tebu, kapur. Campuran tersebut maka didiamkan beberapa hari sampai mengurai. Proses penguraian juga harus dibolak- balik. Sekali seminggu kalau musim kering. Dua minggu sekali kalau musim hujan tiba.
"Untuk pembalikan ini dilakukan tiga kali," imbuhnya.
Sudah terurai maka akan digiling kemudian dikemas. Buat lebih bagus dilakukan pengayakan agar tidak ada gumpalan. Namun karena dia belum memiliki mesin pengayak, yah, terpaksa bisa langsung dikemas agar cepat. Walau tekstur bagus dibutuhkan waktu tidak kurang lima jam.
Sebulan mereka mampu mengolah 2,3 ton pupuk. Mereka juga menjual di toko pertanian. Atau petani yang terdekat dapat membeli langsung ke mereka. Total sapi 143 ekor berbagai jenis termasuk limusin, metal, peranakan ongle.
Semuanya merupakan milik dari 38 anggot kelompok tersebut. Dari segitu cuma 60% nya dijadikan pupuk sisanya dijadikan langsung sebagai pupuk kandang. Hasil penjualan dibagi 20% untuk anggota pengembang kelompok tani dan 80% buat pemilik sapi. Hasilnya berhasil menunjang penghasilan masing- masing kepala.
Harno sendiri dibantu Wiharjono, pensiunan guru yang banting stir menjadi peternak sapi. Demi uang pensiun mereka banting tulang bekerja keras. Menurutnya merawat sapi seperti merawat siswa. Kalau mereka lapar ya mereka minta makan, saat kenyang yah kenyang. Kadang mereka suka rewel butuh penanganan khusus sendiri.
Wiharjono sendiri juga membuka usaha penggemukan sapi. Sapi dua tahun dibeli Rp.15 juta, digemukan olehnya sampai 4- 6 bulan. Nilai bertambah sekitar Rp.1 jutaan atau nilai jual sampai Rp.20 jutaan. Lalu dia potong bermodal biaya produksi Rp.400 ribu.
"Ibaratnya saya sekarang digaji oleh sapi," candanya. Selain usaha pembuatan pupuk organik. Termasuk mereka mengerjakan usaha pembuatan pupuk cair dan biogas.
0 comments:
Post a Comment