Nama Livi Zheng melambung setelah menjadi nomini Piala Oscar tahun ini untuk filmnya yang segera akan diputar di bioskop-bioskop Indonesia pada 26 November 2015 bertitel "Brush with Danger". Film action thriller ini sebelumnya telah diputar di Amerika Serikat dan mengundang banyak penonton. Seluruh prose sproduksi film ini dikerjakan di Seattle, Amerika Serikat.
Seperti dituturkan kepada Pikiran Rakyat, untuk masuk seleksi Oscar film Brush with Danger harus menyisihkan 40.000 film kemudian diseleksi hingga mencapai 323 judul. Film karya Livi di antaranya bersaing dengan "Intersteller", "The Hobbit: The Battle of Five Armies", "Transformers: Age of Extinction", "Birdman" dan "American Sniper". "Dan yang memang akhirnya kedua terakhir itu," ujarnya.
Untuk bisa menjadi sutradara yang diakui Hollywood, diakui Livi, bukan perkara mudah. Lebih dari 30 judul film perempuan kelahiran Blitar 3 April 1989 ini masuk ke keranjang sampah. Alasannya tidak layak. Kesulitan tidak hanya terjadi di awal karier tetapi juga pada saat sudah diterima Hollywood.
Livi menuturkan bahwa menjadi sutradara itu juga tidak mudah, karena harus bisa bekerja dalam tim. “Ternyata jadi sutradara itu susah sekali. Saat kita menjadi sutradara, kan tidak mungkin untuk merekam sendiri, mengatur sound sendiri. Aku perlu tim, semua spesialis, dan orang sana (Amerika) merupakan orang yang sangat picky (pilih-pilih). Cari kru itu sangat sulit,” kata Livi.
"Sangat susah mendapat kru film yang benar-benar sehati dan sesuai keinginan," tambahnya.
Siapa sangka, Livi yang kini menggeluti film secara profesional sebelumnya bercita-cita menekuni dan berkarier dalam bidang gambar hidup. Ketika di Indonesia, Livi cita-cita sangat sederhana, ingin menjadi altlet Wushu. Uniknya, dari Wushu-lah Livi mulai meretas jalan untuk terjun di dunia film. Tidak percaya?
“Memang dari kecil saya hobi bela diri dan bela dirinya Wushu. Wushu tuh sangat masuk ya di film. Saya juga suka buat skrip film. Dari Wushu situlah dapat beasiswa untuk belajar film,” ujar Livi.
Livi pernah mengajar wushu hingga menjadi stuntman yang pada akhirnya mendekatkan dirinya dengan lensa kamera.
“Aku juga pas sekolah di Beijing cari uang sendiri. Dengan mengajar Wushu untuk anak TK sampai yang sudah kakek dan nenek. Aku juga suka bantuin anak-anak yang kurang mampu,” tuturnya.
Livi memulai karirnya sebagai stuntwomen di usia 15 tahun. Seorang atlet bela diri yang sudah ditempa dari usia sangat muda, wushu menjadi tiket bagi Livi untuk memulai karirnya di dunia film.
“Wushu itu sangat applicable untuk dunia film karena gerakannya indah,” tutur Livi yang sempat memperoleh beasiswa stunt school. Dia belajar membakar orang, jatuh dari ketinggian dan menyetir mobil dengan aman.
Menjelang dewasa, Livi pindah ke Amerika Serikat dan lulus Bachelor (sarjana) Ekonomi dengan predikat sempurna dalam tiga tahun. Sempat berfikir untuk melanjutkan sampai tingkat doktoral. Namun pertemuannya dengan seorang stunt coordinator mengubah pikirannya. Dirinya memutuskan bahwa dunia perfilman adalah dunia yang ingin ditekuninya.
Livi akhirnya mengambil langkah dengan menimba ilmu tingkat master di University of Southern California jurusan perfilman, salah satu sekolah terbaik di Amerika Serikat dengan rasio penerimaan hanya 4 persen. “Untung–untungan juga, tapi kebetulan keterima.” ujarnya lega.
Menurut Livi, pendidikan perfilman itu penting namun tidak bisa menentukan segalanya. Kita harus tetap berkemauan kerja keras dari nol.
“Kalau di film itu, pendidikan penting tapi bukan segalanya. Walaupun kita lulus dari sekolah penyutradaraan, mulai dari bawah itu penting. Jadi jangan ragu untuk mengerjakan apa pun, ambillah semua oportunity yang ada. Pasti semua skill itu, skill untuk mengerti cost atau kostum akan terpakai. Kita tidak mungkin mendalaminya, tapi semua skill itu pasti akan terpakai.”
Perjalanan Livi menjadi produser dimulai ketika dirinya mencari pendanaan untuk skenario yang dia tulis bersama dengan adiknya Ken Zheng. Persaingannya sangat ketat. Kurang lebih 40.000 film diproduksi setiap tahun, jumlah skenario yang diajukan bisa sampai ratusan ribu banyaknya. Bagi seorang pemula, mendapatkan perhatian jelas bukan hal yang mudah. Setelah berkali–kali merevisi, seorang teman bersedia memperkenalkannya ke seorang produser yang bersedia memproduksi filmnya. Perkenalan itu membuka pintu bagi Livi untuk mewujudkan film yang diimpikannya.
Selain "Brush with Danger" film lain karya Livi adalah "The Empire’s Throne", "Legend of The Best" dan film yang akan dirilis tahun masih dirahasiakan judulnya. Beberapa aktris Hollywood yang diproduseri Livi di antaranya Tony Todd, John Savage, Ken Zheng, Keith David, Madeline Zima, dan Sean Patrick Flannery.
Dalam waktu dekat Livi juga akan menggarap film dengan lokasi syuting di Indonesia. "Aktor dan aktrisnya juga dari Indonesia," ujarnya.
Livi berkeinginan berkolaborasi dengan talenta-talenta hebat di Indonesa. “Aku belum kenal banyak musisi, tapi aku ingin bekerja sama dengan musisi untuk mengisi film–filmku, bahkan film keduaku yang akan dirilis tahun depan di Amerika. Aku butuh komposer untuk film–filmku,” kata Livi.
Aas prestasinya selama ini yang membuat harum nama Indonesia di pentas dunia, Kongres Dispora yang disokong Departemen Luar Negeri memberikan Diaspora Creative Awards 2015 untuk Livi.
Diaspora merupakan orang atau warga negara atau penduduk dan keturunannya--dari warga negara atau berstatus penduduk termasuk yang menikah dengan orang Indonesia--yang berada di luar negara.
Dalam Kongres Diaspora tahun ini menghadirkan nama-nama beken yang pernah sukses di negeri lain. Sebut saja Wali Kota Bandung Ridwal Kamil, Bacharuddin Jusuf Habibie, pengusaha properti Iwan Sunito dan banyak lagi. Kongres yang mengambil tema Diaspora Bakti Bangsa ini juga mengedepankan isu dwi-kewarganegaraan, industri penerbangan, ekonomi kreatif, serta global entrepreneur.
0 comments:
Post a Comment