Sdr. tak dapat mencampuradukan kesenian Indonesia dengan kesenian Barat. Tak dapat saudari perjuangkan orang yang sedang menari serimpi, pakaiannya saudari tukar dengan pakaian penari balet, juga tak dapat saudari iringi dengan musik Jazz. Begitu juga sebaliknya orang yang sedang berdansa tak dapat saudari tukar musiknya dengan gamelan. Tak ubahnya seperti yang saya katakan di atas itulah saudari memperjuangkan apa yang saudari kehendaki itu.
Achirul kalam saya anjurkan kepada saudari bahwa perjuangan saudari yang sedemikian itu menurut keyakinan saya akan menjatuhkan kepopuleran saudari sebagai bintang film. Saya berdo'a moga-moga saudari insyaf pada apa yang telah saudari perjuangkan itu, sehingga mengakibatkan kegemparan masyarakat.
Sayangilah kepopuleran saudari yang kian hari kian meningkat. Pertahankanlah, serta berjuanglah untuk menjadi bintang film Indonesia yang gilang gemilang, seniwati Indonesia yang tulen dan menjadi kebangaan bangsa Indonesia di dalam dan di luar negeri. Mudah-mudahan saudari tetap gilang-gemilang sampai hari tua.
Sekian.
ITULAH surat pembaca yang dimuat di majalah Kencana edisi No. II Tahun 1954 halaman delapan yang memuat pernyataan keprihatinan seorang penggemar aktris film layar lebar almarhum Nurnaningsih. Surat pembaca itu adalah buntut dari lontaran kontroversial icon bintang panas Indonesia era 50-an ini yang menyatakan: "Saya tidak akan memerosotkan kesenian, melainkan hendak melenyapkan pandangan-pandangan kolot yang masih terdapat dalam kesenian Indonesia."
Mungkin untuk generasi sekarang, tak ada yang kenal dengan sosok Nurnaningsih. Ia adalah bintang film panas pertama yang dimiliki masyarakat perfilman Indonesia pascakemerdekaan. Ia menjadi simbol aktris panas pada zamannya.
Selain pendapatnya yang kontroversial, Nurnaningsih juga sempat membuat gempar peta perfilman ketika dengan sangat berani berpose telanjang dalam sejumlah film, termasuk foto bugilnya yang tersebar di masyarakat. Sampai-sampai Kejaksaan Agung dan Polri dibuat kelabakan saat itu.
Awal terjun ke dunia film, Nurnaningsih sebenarnya sangat beruntung langsung “digarap” sutradara legenda Indonesia Usmar Ismail lewat film Krisis dan berikutnya dalam film Harimau Campa (1954). Namun setelah itu dengan sejumlah arogansinya, Nurnaningsih main dalam sejumlah film panas dan foto seronoknya menghiasi sejumlah majalah Ibu Kota.
Sejumlah pengamat film pada saat itu dengan nada sinis menilai Nurnaningsih sebenarnya beruntung dapat lakon dalam film-film garapan Usmar Ismail. “Padahal aktingnya sangat jelek, “demikian komentar seorang pengamat film di majalah Kencana. Konon, cuma kemujuranlah yang membawa Nurnaningsih bisa bermain dalam Krisis.
Generasi Panas
Generasi berikutnya yang menjadi simbol bintang panas adalah Rahayu Effendi. Dalam Tante Girang (1974), ia konon berbugil ria dengan aktor gagah pada zamannya, Dicky Soeprapto. Perkembangan perfilman nasional Indonesia selanjutnya ditaburi bintang film yang benar-benar mengeksploitasi fisik dan cita rasa rendah (low taste), yang menjadi idola sekaligus bahan caci-maki. Sebut saja Yeni Rachman, Suzanna, Lina Budiarti, Yati Octavia, Eva Arnaz, Ayu Lestari, Meriam Bellina, Yurike Prastica, Ayu Azhari, Sally Marcelina, Ayu Yohana,Yeni Farida, Kiki Fatmala, Gitti Srinita, Malvin Syahna, Liza Chaniago, dan Inneke Koesherawati. Terakhir, Inneke mengaku tobat dan kini mengenakan atribut muslimah.
Kini popularitas para bintang panas itu telah pudar. Ada yang tak jelas rimbanya tetapi ada juga yang "bertobat" dan beralih menjalani profesi menjadi aktris sinetron.
Bila menelusuri sejarah perfilman nasional, film esek-esek dan bintang panas sebenarnya ada pada setiap zamannya. Ketia idealisme dan komersialisme hadir di sana pula film esek-esek juga lahir. Dalam setiap perkembangannya bintang-bintang panas hadir entah dengan alasan jalan pintas atau memang pasar menuntut demikian. Tetapi yang jelas adegan panas dalam film nasional saat itu bukan sebagai pelengkap tetapi menjadi menu utama perfilman nasional.
Generasi Terdidik
Mulai akhir 90-an produksi perfilman nasional beralih ke generasi muda yang terdidik. Mereka menyutradarai film lantaran sekolah baik di dalam maupun di luar negeri. Ini berbeda dengan generasi terdahulu yang membuat film lantaran bermodal pengalaman. Bisa jadi, seorang peƱata lampu karena bergaul lama di lingkungan perusahaan film menjadi seorang sutradara yang cukup komersial. Belakangan, peran mereka tergusur sineas muda terdidik. Secara otomatis, generasi ini pula yang menutup peluang peran dan lahan aktris panas.
Sebenarnya aktris, sutradara, bahkan pemilik rumah produksi yang mempunyai “ideologi panas” sempat bereksperimen dan mengalihkan medium ekspresinya lewat televisi. Misalnya saja, sempat ada Si Manis Jembatan Ancol dan Warkop versi sinetron. Namun usaha mereka tak berhasil dan sepi respons. Sinetron jenis itu juga tak bertahan lama dan tak ada pengikutnya.
Belakangan, Lativi juga menayangkan film layar lebar nasional bertitel 17+ setiap malam Ahad. Namun, belum diketahui respons pemirsa atas film tersebut. Tetapi konon, Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) sudah menegur Lativi soal penayangan film-film panas yang diproduksi tahun 80-an dan awal 90-an ini.
Perfilman nasional kini boleh dikatakan benar-benar steril dari sentuhan bintang panas. Lihat saja sejumlah film layar lebar yang sukses dipasaran dan sekaligus menjadi lokomotif perfilman nasional. Dari mulai Cinta dalam Sepotong Roti (Garin Nugroho), Bulan Tertusuk Ilalang (Garin Nugroho), Sherina (Riri Riza), Pasir Berbisik (Nan T. Achnas), Ca Bau Khan (Nia diNata), Ada Apa dengan Cinta (Rudi Sudjarwo), Jelangkung (Rizal Mantovani dan Jose Purnomo), Bendera (Nan T. Achnas), Eliana, Eliana (Riri Riza), Arisan (Nia diNata), dan Banyu Biru (Teddy Soeriaatmadja).
Perlu Waspada
Kini dunia film benar-benar menjadi milik para sineas muda. Bahkan film Indonesia tidak hanya berbicara di dalam negeri tetapi berkibar dan mendapat penghargaan di mancanegara. Namun demikian, bulan madu perfilman nasional itu perlu diwaspadai. Jangan sampai iklim yang kondusif sekarang diganggu orang atau kelompok yang masih berambisi memproduksi film dengan duit yang minim, ide dangkal, tetapi ingin mengeruk keuntungan yang menggunung.
Mungkin Anda ingat dengan kasus film Bernapas dalam Lumpur (1970). Padahal saat itu insan perfilman nasional sedang gencar-gencarnya membuat konsep dan berpikir keras untuk membuat film yang berkualitas. Namun, tiba-tiba iklim yang kondusif itu dibuyarkan dengan kehadiran film yang dibintangi Suzanna itu. Akibatnya, suasana menjadi terkondisikan dan sutradara lainnya juga menggarap film jenis sama. Kasus tersebut dinilai mirip dengan tragedi yang sama pada tahun 60-an.
Sejak itulah ide membuat film berkualitas hanya sebatas pembicaraan dalam seminar dan diskusi terbatas. Pada 1989 Indonesia kembaali heboh dengan kehadiran film Pembalasan Ratu Laut Pantai Selatan (PRLPS). Film ini sebenarnya telah lolos dari gunting tajam Badan Sensor Film. Namun, reaksi masyarakat benar-benar membuat film tersebut ditarik dari peredaran. Yurike Prastica yang menjadi bintang utama konon berbugil ria dengan film asal Amerika Serikat. Bersamaan dengan PRLS juga ditarik film Akibat Terlalu Genit (Yurike Prastica) dan Ketika Musim Semi Tiba (Meriam Bellina).
Kasus serupa juga berlanjut pada 1996 ketika masyarakat dikejutkan dengan kehadiran video berisi adegan panas Ayu Azhari dalam film The Outraged Fugitive. Dalam film yang beredar di Indonesia bertitel Pemburu Teroris itu, Ayu Azhari berbugil ria dengan aktor AS Frak Zagarino di kamar mandi. Film tersebut dibuat PT Rafi Film yang berpatungan dengan Amera (AS).
Belakangan, ketika sineas muda tengah berjuang memproduksi film berkualitas tiba-tiba diusik dengan kehadiran Buruan Cium Gue, produksi Multivision Plus. Peredaran film ini mendapat resistensi dari masyarakat dan akhirnya ditarik dari peredaran. Ini artinya, kini masyarakat tidak lagi menerima film selera rendah yang hanya mengumbar syahwat dan berahi sebagai menu utama film.
TV Partikelir
Sepertinya tempat untuk bintang film panas sangat tertutup. Trans TV, stasiun televisi partikelir milik pengusaha Chairul Tanjung juga memproduksi film layar lebar di bawah bendera Trans Sinema Mandiri (TSM). Andai Ia Tahu dan Biarkan Bintang Menari produksi TSM mendapat sambutan hangat penonton. Kabar terbaru, TSM juga tengah memproduksi film layar lebar terbaru yang diangkat dari salah satu program acara unggulannya, Dunia Lain.
Langkah Trans TV ini juga diikuti Rajawali Citra Televisi (RCTI). Televisi partikelir pertama ini memproduksi film layar lebar berjudul Issue yang mengisahkan etos jurnalis televisi. Yang paling baru, Indosiar Visual Mandiri juga baru saja meluncurkan film musikal Fantasi. Film ini dibintangi anak-anak berbakat dari Akademi Fantasi Indosiar (AFI).
Usaha TSM, RCTI dan Indosiar sebenarnya akan lebih dahsyat bila stasiun televisi lain juga mengikuti jejak yang sama. Tak ada alasan--bila sebuah stasiun televisi lain membuat film layar lebar, kemudian disebut-sebut sebagai latah dan mengekor. Jangan takut dikatakan pengekor. Bukankah, kebutuhan stasiun televisi akan program tayangan lokal khususnya film-film format panjang juga cukup tinggi dan tentu saja menguntungkan secara finansial.
Andai saja, semua stasiun televisi partikelir beramai-ramai membuat fim layar lebar yang berkualitas, saat ini juga saya berani berteriak: Selamat tinggal generasi Nurnaningsih!
0 comments:
Post a Comment