Komite Nobel menilai jurnalis senior itu layak mendapatkan Nobel 2015 karena keberaniannya melawan rezim otoriter. Lewat sejumlah tulisannya, Svetlana berhasil membuka mata dunia soal kondisi rezim Belarusia yang sangat tidak demokratis. Svetlana sejak muda dikenal sebagai pengkritik vokal pemerintah Belarusia dan Uni Soviet (kini Rusia).
"Dia mendapatkan Nobel atas tulisan-tulisannya yang berani," demikian pernyataan Komite Nobel.
Masih kata panitia Nobel, Svetlana selama ini merupakan pengkritik rezim Rusia paling vokal sedunia. Tulisan-tulisannya soal Rusia termasuk saat negara tersebut masih menjadi Uni Soviet telah membuka mata dunia tentang segala hal yang terjadi di negara bekas komunis tersebut. Salah satu bukunya yang mengkritik Rusia berjudul "A prayer for Chernobyl".
Panitia Nobel juga menyebut karya-karya Svetlana sebagai satu monumen penderitaan dan keberanian pada era kita. Penerima hadiah delapan juta crown Swedia atau 972.000 dolar AS bahkan sempat hidup selama 10 tahun di pengasingan sebagai konsekuensi atas sikapnya.
Bahkan, dalam buku terbarunya "Time Second Hand" yang akan segera dirilis tahun 2016 mendatang, Svetlana kembali menurunkan laporan investigatifnya soal kebobrokan rezim Rusia dan Belarusia.
"Dalam buku barunya tersebut, Svetlana kembali menuliskan segala hal soal apa yang terjadi pada Rusia setelah Uni Soviet bubar. Di buku tersebut kelihatan jelas bagaimana perubahan terjadi dari sosialime ke kapitalisme," demikian pernyataan dari penerbit buku Svetlana, Fitzcarraldo Editions seperti dikutip Guardian, Kamis. Penerbit buku terbaru Svetlana tersebut berada di Inggris.
Masih dalam Guardian, Svetlana mengaku bahwa dia sangat suka mengamati kehidupan nyata. "Kehidupan nyata itu seperti magnet buat saya, menghipnotis sekaligus menyiksa saya. Saya ingin menangkap semua esensi kehidupan nyata tersebut ke dalam tulisan-tulisan saya," ujarnya seraya menambahkan bahwa dia menggunakan mata dan telinganya untuk mendengar dunia.
"Dengan begini saya pun bisa merealisasikan semua potensi jiwa dan emosi secara penuh. Dengan cara ini pula, saya pun akhirnya bisa melakukan berbagai pekerjaan dalam waktu bersamaan, baik itu sebagai penulis, wartawan, ahli ilmu sosial, pakar kejiwaan dan juga penceramah," ujarnya lagi seperti ditulis Pikiran Rakyat.
Ditulis Antara, Svetlana belajar jurnalisme di University of Minsk antara 1967 dan 1972. Setelah menyelesaikan sekolah, kelahiran 31 Mei 1948 ini bekerja sebagai guru dan jurnalis.
Selama bertahun-tahun dia mengumpulkan bahan untuk buku pertamanya”U vojny ne ženskoe lico” (1985) atau “War’s Unwomanly Face” (1988), yang ditulis berdasarkan hasil wawancara dengan ratusan perempuan yang terlibat dalam Perang Dunia II.
Selama dalam pengasingan, Svetlana pernah tinggal di Italia, Prancis, Jerman, Swedia, dan negara-negara lainnya sebelum akhirnya kembali lagi ke kota Minsk. “Saya suka dunia Rusia tapi hanya persoalan manusiawi Rusia,” ujarnya.
Ia kembali menegaskan dirinya tidak mencintai Beria, Stalin, dan Putin. “Betapa rendahnya mereka membiarkan Rusia tenggelam,” tegasnya.
Sebelumnya, Svetlana pernah memenangi penghargaan Swedia Pen atas keberaniannya sebagai penulis. Ia telah mengumpulkan wawancara dengan narasumber dari Uni Soviet selama 40 tahun. Tak hanya soal sejarah tapi keberaniannya mengabadikan cerita dalam novelnya.
Penulis kelahiran 1948 silam ini menggunakan metode yang luar biasa dan menulis dengan hati-hati. Kini, ia mendapatkan predikat wanita ke-14 yang meraih Nobel Sastra sekaligus mengalahkan penulis favorit lainnya, Haruki Murakami dari Jepang dan novelis Kenya Ngugi Wa Thiong’o.
Svetlana menjadi perempuan ke-14 yang memenangi hadiah Nobel sejak diadakan pertama kali, pada 1901. Perempuan terakhir yang mendapatkan Nobel bidang sastra adalah Alice Munro asal Kanada, pada 2013 silam.
0 comments:
Post a Comment