Ayah yang sehari-hari berprofesi sebagai guru menyebabkan Sutarto kecil dan tiga saudaranya sudah terbiasa berpindah-pindah kecamatan. Praktis, sebanyak tujuh kali pindah. Karena tempat lahir Sutarto dan juga saudaranya juga berbeda-beda.
Sejak usia lima tahun Sutarto sudah masuk sekolah. Belajar seperti biasa kendati lebih banyak mainnya. Tak mendapat rapor di akhir kenaikan sekolah karena memang Sutarto hanya penggembira. Hanya karena melihat tiap malam keponakan dari ibunya belajar, Sutarto merengek kepada Ayahnya agar diperkenan sekolah.
Sebagai anak kampung, selepas sekolah kadang Sutarto tidak langsung pulang ke rumah. Perosotan di tebing adalah mainan favoritnya. Kadang tanpa alas tetapi lebih banyak menggunakan pelepah kelapa. Kadang main mobil-mobilan dari kulit jeruk, main layangan atau main ketepel. Semuanya dibikin sendiri atau beramai-ramai dengan teman seusianya.
Sebagai anak guru, Sutarto juga sangat dekat dengan guru-guru lainnya di SD Sidomulyo. Lantaran merasa sebagai anak guru itulah Sutarto berani bertegur sapa dengan guru. Beda dengan teman-teman lainnya yang sungkan mendekati guru.
Kendati di lereng gunung, kondisi alam di sekitar tempat tinggal Sutarto kurang bersahabat. Tanahnya gersang dan sumber mata air harus ditempuh sekira satu kilometer. Setiap mandi Sutarto sudah terbiasa membawa kendi berisi air bersih (sekitar 4 liter) mengiringi ibu yang membawa gentong di atas kepalanya yang juga berisi air bersih untuk minum.
“Bahkan itu masih dilakukan ibu menjelang adik saya lahir,” kenang Sutarto.
Naik turun lereng gunung sudah menjadi aktivitas sehari-sehari Sutarto dan penduduk lainnya. Ketika ke pasar, maka warga harus mendaki. Sementara ketika menuju sumber air dan sekolah warga pun menuruni lereng.
Hawa dingin semakin menusuk menjelang senja. Apalagi rumah kontrakan yang didiami Sutarto dan keluarga mendekati puncak gunung. Rumah tetangga pun sangat jauh. Kadang Sutarto merasa kesepian kala hari mendekati malam. Rindu pulang ke rumahnya di Kota Pacitan kerap mengusiknya.
Rupanya harapan dan doa Sutarto untuk segera pindah ke kota dikabulkan. Cukup bagi Sutarto hidup selama enam tahun di lereng gunung dan kini kembali ke rumahnya di Kota Pacitan. Pada saat hari kepindahan pun Sutarto termasuk yang paling sibuk karena saking gembiranya. Kompor minyak tanah yang hitam legam pun dipangkunya. Sangat bersemangat.
Sekolah di kota dengan di desa terpencil sudah pasti suasananya sangat berbeda. Berbagai aktivitas dan kegiatan sekolah pun sangat bervariasi. Namun, kadang Sutarto masih rindu bermain perosotan di tebing atau bermain mobil-mobil dari kulit jeruk. Kerinduan itu kerap dilampiaskannya dengan menyibukkan diri di Kepanduan.
Di kota, Sutarto mengenal berbagai jenis olahraga mulai dari rangen sampai ronders. Rangen sejenis olahraga lompat indah. Olahraga ini sejatinya adalah sangat disenangi perempuan. Sutarto karena badannya sangat kecil dalam kegiatan olahraga selalu digabung sama perempuan.
“Saya tidak bisa ikut olahraga laki-laki seperti bola voli karena badan saya kecil,” ujarnya.
Saat sekolah di kota pun Sutarto sangat dekat dengan guru. Lantaran kedekatan itu, Sutarto kerap menjadi andalan guru untuk disuruh apapun. Karena merasa sangat terhormat, diperintah apapun oleh guru, Sutarto merasa tersanjung. “Ketika disuruh guru menghapus papan tulis atau mengambil kapur tulis pun saya sangat senang,” kata Sutarto. “Karena guru itu panutan, makanya ketika dipercaya guru luar biasa senangnya.”
Praktis, SMP dan SMA pun dihabiskan di Kota Pacitan. Malah seiring waktu, rumah Sutarto pun tidak hanya satu melainkan terus bertambah. Setiap lahir anak, Ayah selalu membangun rumah.
Sutarto termasuk yang menonjol dalam mata pelajaran matematika. Karena hormat dan tersanjungnya pada guru, Sutarto ketika itu masih kelas dua sangat senang ketika ada seorang pengajar yang meminta bantuan Sutarto untuk mengerjakan lembaran soal ujian. Tanpa banyak tanya, Sutarto pun dalam hitungan menit rampung mengerjakan soal-soal matematika.
“Terimakasih ya, To,” kata sang guru.
“Sama-sama, Pak.”
Belakangan, Sutarto baru tahu dari teman-temannya bahwa soal yang dikerjakan itu adalah bahan ujian kelas tiga. Soal berisi jawaban itu ternyata diberikan sang guru muda itu kepada 'kembang sekolah'. “Rupanya guru tersebut naksir sama seorang anak kelas tiga,” Sutarto dongkol sambil tersenyum kecut.
Sebelum kelas tiga SMP, Sutarto sempat bimbang. Ia sudah khawatir akan sekolah di luar kota. Sementtara ia sangat betah tinggal di rumah sendiri kumpul bersama keluarga. Lagi-lagi harapan ada SMA di Kota Pacitan terkabul ketika Sutarto menginjak kelas tiga SMP.
Sekolahnya masih menempati balai desa. Sekolah yang benar-benar dari nol. Tapi itu bukan halangan bagi Sutarto untuk belajar di sekolah yang kemudian bernama SMA Pacitan tersebut.
Sutarto masuk ke sekolah itu pada tahun kedua. Karena fasilitas sangat minim. Sutarto dan murid-murid lainnya untuk kegiatan belajar bawa kursi dan meja sendiri dari rumah masing-masing.
Sutarto memilih jurusan ilmu pasti. Tapi alih-alih belajar Sutarto dan murid puluhan murid lainnya lebih banyak ke kali daripada belajar di ruang kelas. “Kita cari batu ke sungai untuk membangun sekolah. Batu bata pun kita bikin rame-rame. Sekolah benar-benar hasil swadaya,” kenang Sutarto. “Sampai tahun ketiga masih sibuk membangun sekolah.”
Namanya juga sekolah baru, latar belakang gurunya pun gado-gado. “Ada jaksa jadi guru, hakim jadi pengajar. Bahkan guru SMP pun ada yang mengajar di SMA Pacitan,” ujarnya.
Kota Pacitan sangat terpencil dari hiruk-pikuk politik nasional saat itu. Samar-samar isu ‘Ganyang Malaysia’ dan benih-benih G30S sejak 1960-an hanya terdengar dari radio butut yang berisik. Pidato Bung Karno di radio pun lebih banyak kedengar teriakan massanya daripada substansi yang dibicarakan.
“Suasana batinnya semua terpengaruh bahwa kita harus ganyang Malaysia. Bung Karno sering mengatakan neokolinisme. Tapi saya belum paham,” katanya.
Tapi korban akibat G30S di Pacitan cukup banyak. Bahkan guru SMP Sutarto termasuk yang hilang misterius. Ketika Kodim setempat menggerakkan anak-anak SMA dan STM untuk menjaga kantor kecamatan dan juga terlibat dalam pendataan penduduk, Sutarto sigap melaksanakannya.
“Bahkan pernah diseuruh latihan perang-perangan. Kami harus jalan kaki sejauh tujuh kilometer. Kami ikut saja walaupun sampai tengah malam,” tuturnya.
Sutarto juga pernah dilibatkan polisi untuk mendata penduduk di sebuah desa terpencil. Pendataan dilakukan hampir seminggu. Satu-satu sumber air di desa itu adalah sebuah telaga. Semua aktivitas dilakukan di telaga itu. Mandi, mencuci, air minum dan juga memandikan kerbau dan sapi di telaga itu.
“Tak ada suasana mencekam saat itu. Kita nggak ngerti siapa musuh kita. Waktu itu baru tahu bahwa ada orang hilang. Siapa musuh kita nggak jelas. Satu-satunya yang bikin ketakutan mungkin perintah mematikan lampu setiap malam," kenangnya.
Rupanya gonjang-ganjing politik tak mempengaruhi, Sutarto. Kemampuan matematika dan juga bahasa Inggris terus diasah. Cita-citanya untuk jadi insinyur terus menggodanya. Gelar insinyur dalam benak Sutarto adalah jaminan orang hebat. Tak terpikirkan sama sekali jadi dokter sekalipun.
“Bagaimana kamu, To?” tanya Ayah menjelang kelulusan SMA.
“Pak, pokoknya saya harus melanjutkan bagaimanapun caranya. Saya akan cari bagaimana caranya,” kata Sutarto. Ada kegetiran pada diri Sutarto karena Ayah sudah pensiun sejak Sutarto masih SMP. Satu-satunya kegiatan adalah berkebun. “Tujuan selepas SMA saya langsung akan menemui kakak saya di UPN Surabaya.”
0 comments:
Post a Comment